Kembalikan Fitrah Pesantren

Istilah ''pasantren'' populer di Jawa Barat. Artinya tempat santri, tempat tinggal para santri. Di Jawa istilahnya pondok. Tapi seperti juga dalam kasus penggabungan istilah pencak (Sunda) dengan silat (Sumatra), istilah pondok dan pesantren juga digabungkan menjadi pondok-pesantren, sering disingkat menjadi pontren.

Pesantren adalah perkembangan dari padepokan atau petapaan pada masa pra-Islam. Yaitu tempat kiai sebagai pusatnya (dahulu pertapa atau resi) memberikan pelajaran tentang kebenaran, keyakinan, agama, ilmu kesaktian, dan lain-lain. Setelah memeluk Islam, dengan berbagai penyesuaian, padepokan menjadi pesantren. Yaitu tempat para santri yang sering datang dari tempat yang jauh belajar di bawah bimbingan kiai.

Karena mereka tidak bisa pulang ke rumahnya masing-masing setelah belajar, mereka tinggal di bangunan sederhana di sekitar rumah kiai. Itulah yang menjelma menjadi pondok. Santri yang rumahnya berdekatan dan pulang sehabis mengaji, disebut 'santri kalong'.

Polemik
Saat terjadi polemik kebudayaan pada 1930-an, Dr Soetomo mengajukan lembaga pesantren dengan kiainya sebagai alternatif lembaga pendidikan di Indonesia. Tapi dengan kata-kata tajam ditentang oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Dr Soetomo merasa tidak perlu polemik dilanjutkan, karena terdapat jurang perbedaan yang tajam antara beliau dan Sutan Takdir Alisjahbana.

Hal itu kita sesalkan. Karena Dr Soetomo belum sempat menjelaskan bagaimana sebenarnya konsep beliau tentang lembaga pesantren sebagai alternatif lembaga pendidikan di Indonesia itu. Tapi kita semua tahu bahwa pesantren telah berkembang di Indonesia selama ratusan tahun.

Pesantren sering dilecehkan dalam roman-roman Balai Pustaka tahun 1920-an, dengan mengatakan bahwa mereka yang belajar ke pesantren tidak akan mendapat kemajuan. Namun tidak kurang dari Prof Dr Snouck Hurgronje dalam suratnya tanggal 29 Desember 1895 kepada Gubernur Militer Aceh --tatkala membela H Hasan Mustapa sebagai penghulu besar di Aceh-- mengatakan bahwa orang yang penampilannya sederhana dan pendidikannya hanya di pesantren, dapat menyembunyikan intelektualitas dan kemajuan yang tampaknya mungkin berbeda dengan pejabat Eropa, tapi pada hakikatnya tidak lebih rendah.

Timbulnya anggapan bahwa orang-orang keluaran pesantren tidak akan mendapat kemajuan disebabkan para penulis buku Balai Pustaka bertolak dari anggapan bahwa kemajuan seseorang dalam masyarakat diukur dari pangkat yang dapat didudukinya. Para lulusan pesantren memang tidak banyak --bahkan mungkin tidak ada-- yang menduduki kursi kepangkatan pada masa Hindia Belanda.

Kaum menak masih ada yang menganggap perlu memasukkan anaknya ke pesantren selagi kecil, sebelum dimasukkan ke sekolah gubernemen. Misalnya yang terjadi dengan RAA Pangeran Ahmad Djajadiningrat seperti yang ditulis dalam buku Kenang-kenganan.

Meskipun demikian, citra tentang pesantren di dalam alam pikiran ''orang sekolahan'' adalah negatif. Sutan Takdir Alisjahbana sendiri dengan keras menyerang kiai dan pesantren yang katanya tidak berdaya menghadapi penjajahan asing.

Memang, pesantren pada masa sebelum perang --hingga sekarang-- umumnya bertempat di pedalaman, di desa terpencil. Pemerintah Hindia Belanda menaruh curiga terhadap pendidikan agama Islam tersebut, terutama karena pemberontakan selalu dipicu para kiai. Karena itulah Pemerintah Hindia Belanda mengharuskan kepada orang yang hendak mendirikan pesantren untuk meminta izin kepada pemerintah yang disebut ''godsdienstleeraar'' (guru agama).

Ada satu hal tentang pesantren yang sampai sekarang luput dari perhatian para peneliti. Yaitu bahwa tumbuhnya pesantren itu sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sehingga tidak ada lulusan pesantren yang menganggur.

Belajar di pesantren sangat longgar, sehingga tidak terikat oleh waktu. Dahulu orang bebas ''keluar-masuk'' pesantren sesuai dengan kebutuhannya akan ilmu. Setelah merasa puas belajar di sebuah pesantren tentang ilmu hadits, umpamanya, seorang santri bisa pindah belajar ke pesantren lain yang kiainya terkenal ahli tafsir atau ahli ilmu falak.

Pesantren-pesantren punya spesialisasi sesuai dengan lapangan keahlian kiainya. Ada pesantren yang dikenal sebagai sumber ilmu tafsir, ilmu falak, ilmu hadits, ilmu fikih, bahkan ilmu gaib --bergantung pada bidang yang menjadi spesialisasi kiainya. Pesantren tidak mengeluarkan ijazah. Dengan demikian orang yang belajar di pesantren bukanlah untuk memperoleh ijazah buat mencari pekerjaan. Orang belajar di pesantren untuk memenuhi hasratnya akan ilmu. Ilmu yang diperolehnya itu tidak selalu dijadikan alat utuk mencari nafkah. Lulusan pesantren tidak semua --bahkan kebanyakan tampaknya tidak-- menjadi kiai atau guru agama. Banyak yang menjadi pedagang, petani, tukang, atau pekerjaan lainnya.

Pada dasawarsa ketiga abad XX, muncullah ''pesantren modern'', yaitu pesantren klasikal. Karena selama belajar di situ, waktunya ditentukan dan dibagi dalam kelas-kelas. Sementara itu, organsisasi-organisasi seperti PUI mendirikan ''madrasah'' yang juga dibagi dalam kelas-kelas. Perbedaannya dengan ''pesantren modern'', madrasah tidak menyediakan pemondokan.

Tidak kalah
Baik pesantren tradisional maupun ''pesantren modern'' berkembang sesuai kebutuhan masyarakat. Lulusan Pesantren Modern Gontor, umpamanya, banyak yang melanjutkan pelajaran ke Mesir atau negara Timur Tengah yang lain. Gontor sendiri mengidentifikasikan dirinya sebagai kunci pembuka ilmu dengan mengutamakan pelajaran bahasa Arab. Karena dengan menguasai bahasa Arab, terbukalah kesempatan untuk memperdalam ilmu agama atau ilmu lainnya. Maka orangtua yang ingin mengirimkan anaknya belajar di Timur Tengah banyak yang mengirimkan anaknya ke Pondok Gontor.

Pada masa setelah kemerdekaan, Pemerintah RI melalui Departemen Agama mendirikan juga madrasah-madrasah klasikal. Madrasah memberi kesempatan lebih luas kepada anak-anak yang berminat belajar agama tanpa harus pergi ke pesantren. Namun, sebegitu jauh, meskipun kurikulumnya diusahakan seimbang antara pelajaran agama dengan pelajaran umum (yang menjadi bahan pembahasan yang berkepanjangan), namun Pemerintah tidaklah pernah turut campur tangan terhadap kurikulum pesantren.

Karena banyak santri yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi, padahal untuk itu diharuskan mempunyai ijazah SMA atau sederajat, maka banyak lulusan pesantren yang mengikuti ujian ekstra SMA. Dengan ijazah tersebut dia bisa mengikuti ujian masuk universitas. Dan banyak yang lulus. Hal itu menunjukkan bahwa pelajaran di pesantren tidak lebih rendah daripada di sekolah umum. Karena kalau tidak, niscaya lulusan pesantren itu tidak akan lulus dalam ujian akhir sekolah umum. Kebanyakan lulusan pesantren memang masuk IAIN, tetapi ada juga yang mengikuti universitas umum--dan setelah lulus memperlihatkan prestasi yang tidak kalah dari yang ''asli'' lulusan sekolah umum.

Baru pada masa Orde Baru, Pemerintah mengusik-usik kurikulum pesantren. Dengan alasan agar ada standardisasi --padahal tujuan sebenarnya hendak menguasai pesantren sebagai sumber pemimpin intelektual dan politik Islam-- Pemerintah campur tangan dalam menentukan kurikulum pesantren. Dan kemudian, melalui SKB Tiga Menteri (Menteri Agama, Menteri P dan K, dan Menteri Dalam Negeri), menghalangi para lulusan pesantren yang hendak masuk ke universitas umum.

Menurut SKB Tiga Menteri itu, hanya murid yang telah tercatat menjadi pelajar SMA selama tiga tahun saja yang boleh mengikuti ujian penghabisan SMA. Dengan demikian, tertutup kemungkinan lulusan pesantren ikut ujian ekstra SMA. Dan dengan demikian, mereka tidak bisa masuk universitas, bahkan juga tidak dapat masuk ke IAIN.

Kurikulum pesantren harus diseragamkan. Maka banyak pesantren yang mengubah lembaganya, disesuaikan dengan madrasah. Bahkan banyak yang mendirikan SMP dan SMA untuk menampung anak-anak yang ingin melanjutkan belajar ke universitas.

Hanya Pesantren Gontor dan mungkin beberapa lagi yang lain yang menolak penyeragaman kurikulum itu dengan konskuensi lulusannya tidak diakui oleh Pemerintah. Buat pesantren seperti Gontor tidak menjadi soal, karena lulusannya diterima dengan tangan terbuka di universitas-universitas Timur Tengah.

Mentalitas
Setelah diseragamkan maka pesantren-pesantren itu pun mengeluarkan ijazah. Dan akibat dari adanya ijazah itu segera tampak: lulusannya banyak yang menganggur karena tidak bisa mendapat pekerjaan. Mentalitas manusia yang menggantungkan hidupnya pada selembar ijazah seperti yang dihasilkan oleh sekolah-sekolah umum di Indonesia selama ini, menjadi mentalitas para santri lulusan pesantren pula.

Kalau dahulu orang belajar di pesantren hanya semata mencari ilmu, sekarang timbul anggapan bahwa pesantren itu sama dengan sekolah umum, yaitu sebagai pintu untuk ''menghamba'' jadi pegawai, baik pegawai negeri maupun pegawai perusahaan swasta nasional maupun asing. Mentalitas sekolah umum yang asalnya dari sekolah untuk pribumi yang didirikan Belanda untuk mencetak tenaga-tenaga murah guna eksploitasi kolonialnya, sekarang merebak kepada lulusan-lulusan pesantren.

Sudah waktunya pesantren dikembalikan kepada fitrah asalnya, yaitu menjadi lembaga pendidikan untuk warga negara yang haus akan ilmu yang dia minati. Bukan lembaga untuk mendidik calon pegawai murah ataupun mahal, baik sebagai pegawai negeri ataupun sebagai ''hamba'' industri. Kembalikan pesantren sebagai lembaga pendidikan bagi warga negara yang secara bebas menentukan pilihannya dalam menimba ilmu untuk mengarungi hidup. Selanjutnya baca di sini.
Share on Google Plus

About marbun

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar